Kamis, 29 Desember 2016

Karakteristik Anak Tunanetra



1.    Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfield menggambarkan dampak kebutaan dan lowvision terhadap perkembangan kognitif. Adapun identifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak tunanetra ada dalam tiga area, antara lain :
·         Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Keterbatasan pengalaman anak tunanetra dikarenakan pengaruh pengalih fungsian organ-organ yang masih normal lainnya. Seorang anak tuna netra lebih mengandalkan indra peraba dan pendengaran untuk membantunya berinteraksi dengan lingkungan luar, walaupun demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja secara maksimal layaknya indra pengelihatan yang secara cepat dangan menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna dan hubungan ruang yang dapat dengan mudah diperoleh dengan indra penglihatan.Sehingga hal iniberpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman anak yang membutuhkan strategidan kemampuan anak dalam memahami informasi tersebut.
·         Kemampuan untuk berpindah tempat
Indera penglihatan yang normal memungkinkan individu untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tapi keterbatasan penglihatan sangat mempengaruhi kemampuan untukbergerak (mobilitas) dalam kehidupan sehari-hari. Keterbatasan tersebut menghalangi mereka untuk memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh juga pada hubungan sosial lingkungan sekitar mereka. Kemampuan untuk bergerakpada anak tunanetra memerlukan pembelajaran yang mengakomodasi indera nonvisualdalam bergerak secara mandiri, sehingga anak tunanetra harus belajar bagaimana berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan kemampuan orientasi dan mobilitas.
·         Interaksi dengan lingkungan
Jika seorang yang normal berada pada suatu ruangan yang ramai, maka dengan cepat akan mengenali keadaan ruangan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan masih tidak utuh.


2.    Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademisnya, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika seorang yang normal melakukan kegiatan membaca dan menulis mereka tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman pengelihatan. Kesulitan mereka dalam kegiatan membaca dan menulis biasanya sedikit mendapat pertolongan  dengan mempergunakan berbagai alternatif media atau alat membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.  
3.    Karakteristik Sosial dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang berkompeten . Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunaneta sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Oleh sebab itu siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan suara dengan baik, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi serta menggunakan alat bantu yang tepat.
4.      Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Pribadi dan Sosial
Beberapa literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin terjadi pada anak tunanetra yang tergolong buta sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari kebutaannya adalah:
a.       Curiga pada orang lain
Keterbatasan rangsangan visual/penglihatan, menyebabkan anak tunanetra kurang mampu untuk berorientasi pada lingkungannya sehingga kemampuan mobilitasnya pun terganggu. Tidak berfungsinya indera penglihatan berpengaruh terhadap penerimaaninformasi visual saat berkomunikasi dan berinteraksi. Seorang anak tunanetratidak memahami ekspresi wajah dari teman bicaranya atau hanya dapat melaluisuara saja. Hal ini mempengaruhi saat teman bicaranya berbicara dengan oranglainnya secara berbisik-bisik atau kurang jelas, sehingga dapat mengakibatkanhilangnya rasa aman dan cepat curiga terhadap orang lain. Anak tunanetra perludikenalkan dengan orang-orang di sekitar lingkungannya terutama anggotakeluarga, tetangga, masyarakat sekitar rumah, sekolah dan masyarakat sekitarsekolah.
b.      Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung juga dipengaruhi oleh keterbatasan yang iaperoleh melalui auditori/ pendengaran. Bercanda dan saling membicarakan agarsaat berinteraksi dapat membuat anak tunanetra tersinggung. Perasaan mudahtersinggung juga perlu diatasi dengan memperkenalkan anak tunanetra denganlingkungan sekitar. Hal ini untuk memberikan pemahaman bahwa setiap orangmemiliki karakteristik dalam bersikap, bertutur kata dan cara berteman. Haltersebut bila diajak bercanda, anak tunanetra dapat mengikuti tanpa ada perasaan tersinggung bila saatnya ia yang dibicarakan.
c.       Verbalisme
Pengalaman dan pengetahuan anak tunanetra pada konsep abstrakmengalami keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep yang bersifat abstrak sepertifatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat bagian-bagian yang tidak dapatdibuat media konkret yang dapat menjelaskan secara detail tentang konseptersebut, sehingga hanya dapat dijelaskan melalui verbal. Anak tunanetra yangmengalami keterbatasan dalam pengalaman dan pengetahuan konsep abstrak akanmemiliki verbalisme, sehingga pemahaman anak tunanetra hanya berdasarkankata-kata saja (secara verbal) pada konsep abstrak yang sulit dibuat media konkretyang dapat menyerupai.
d.      Perasaan rendah diri
Keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra berimplikasi pada konsepdirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan yaitu perasaan rendah diri untukbergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal ini disebabkan bahwapenglihatan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memperoleh informasi.Perasaan rendah diri dalam bergaul terutama dengan anak awas. Perasaan tersebutakan sangat dirasakan apabila teman sepermainannya menolak untuk bermain bersama.
e.       Adatan atau perilaku stereotip
Adatan merupakan upaya rangsang bagi anak tunanetra melalui indera nonvisual. Bentuk adatan tersebut misalnya gerakan mengayunkan badan ke depan kebelakang silih berganti, menekan matanya,menggerakkan kaki saat duduk, menggelenggelengkankepala, dan lain sebagainya. Adatan dilakukan oleh anak tunanetra sebagai pengganti apabila dalam suatu kondisi anak yang tidak memiliki rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial baginya, sedangkan bagi anak awas dapat dilakukan melalui indra  penglihatan dalam mencari informasi di lingkungan sekitar. Biasanya para ahli mencoba mengurangi dan menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, misalnya pemberian pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang positif dan sebagainya.
f.       Suka berfantasi
Implikasi dari keterbatasan penglihatan pada anak tunanetra yaitu suka  berfantasi. Hal ini bila dibandingkan dengan anak awas dapat melakukan kegiatan memandang, sekedar melihat-lihat dan mencari informasi saat santai atau saat-saat tertentu. Kegiatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh anak tunanetra, sehingga anak tunanetra hanya dapat berfantasi saja.
g.      Berpikir kritis
Keterbatasan informasi visual dapat memotivasi anak tunanetra dalamberpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Hal ini bila dibandingkan anak awasdalam mengatasi permasalahan memiliki banyak informasi dari luar yang dapat mempengaruhi terutama melalui informasi visual. Anak tunanetra akan memecahkan permasalahan secara fokus dan kritis berdasarkan informasi yang iaperoleh sebelumnya serta terhindar dari pengaruh visual (penglihatan) yang dapat dialami oleh orang awas.
h.      Pemberani
Pada anak tunanetra yang telah memiliki konsep diri yang baik, maka iamemiliki sikap berani dalam meningkatkan pengetahuan, kemampuan,keterampilan, dan pengalamannya. Sikap pemberani tersebut merupakan konsep diri yang harus dilatih sejak dini agar dapat mandiri dan menerima keadaan dirinya serta mau berusaha dalam mencapai cita-cita.Sari Rudiyati (2002: 34-38)
i.        Ketergantungan yang berlebihan
Anak tunanetra dalam melakukan suatu hal yang bersifat barumembutuhkan bantuan dan arahan agar dapat melakukannya. Hal ini dilakukan olehanak tunanetra dikarenakan adanya asumsi bahwa dengan bantuan orang awas terutama mobilitas mereka merasa lebih aman, sehingga akan menjadikan anak tunanetra memiliki ketergantungan secara berlebihan kepada orang awas terutama pada hal-hal yang anak tunanetra dapat melakukan secara mandiri.Namun bantuan dan arahan tersebut tidak dapat dilakukan secara terus menerus, karena ditakutkan apabila hal ini terjadi maka siswa akan cenderung berlaku pasif.

Karakteristik anak tunanetra yang berupa potensi meliputi sikap pemberani, berpikir kritis, dan suka berfantasi. Sikap tersebut dapat dimanfaatkan dalamproses pembelajaran aktif seperti pada konsep penjumlahan sehingga dapat meminimalisir karakteristik yang berupakekurangan anak tunanetra. Karakteristik yang berupa kekurangan anak tunanetra meliputi sikapmudah curiga, mudah tersinggung, rendah diri, verbalisme, adatan danketergantungan yang berlebihan. Sikap tersebut dipandang akan mempengaruhi sosialisasi dan adaptasi di lingkungan anak tunanetra (rumah, sekolah danmasyarakat). Hal ini menunjukkan bahwa anak tunanetra membutuhkan prosespembelajaran, sosialisasi dan adaptasi dalam mengenal dan memahami kondisiserta situasi lingkungan agar dapat mengurangi kekurangannya.

5.      Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Fisik/sensoris dan Motorik/perilaku
a.  Aspek fisik dan sensoris
Dilihat secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami tunanetra. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku. Pada umumnya kondisi mata tunanetra dapat dengan jelas dibedakan dengan mata orang awas. Mata orang tunanetra ada yang terlihat putih semua, tidak ada bola matanya atau bola matanya agak menonjol keluar. Namun ada juga yang secara anatomis matanya, seperti orang awas sehingga kadang-kadang kita ragu kalau dia itu seorang tunanetra, tetapi kalau ia sudah bergerak atau berjalan akan tampak bahwa ia tunanetra.
Dalam segi indra, umumnya anak tunanetra menunjukkan kepekaan yang lebih baik ada indra pendengaran dan perabaan dibanding anak awas. Namun kepekaan tersebut tidak diperolehnya secara otomatis, melainkan melalui proses latihan.
b.      Aspek Motorik/Perilaku
        Ditinjau dari aspek motorik/perilaku anak tunanetra menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
·         Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel
Oleh karena keterbatasan penglihatannya anak tunanetra tidak bebas bergerak, seperti halnya anak awas. Dalam melakukan aktivitas motorik, seperti jalan, berlari atau melompat, cenderung menampakkan gerakan yang kaku dan kurang fleksibel.
·         Perilaku stereotipee (stereotypic behavior)
Sebagian anak tunanetra ada yang suka mengulang-ngulang gerakan tertentu, seperti mengedip-ngedipkan atau menggosok-gosok matanya. Perilaku seperti itu disebut perilaku stereotipee (stereotypic behavior). Perilaku stereotipe lainnya adalah menepuk-nepuk tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar