1.
Karakteristik Kognitif
Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada
perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfield menggambarkan
dampak kebutaan dan lowvision terhadap perkembangan kognitif. Adapun identifikasi
keterbatasan yang mendasar pada anak tunanetra ada dalam tiga area, antara lain
:
·
Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Keterbatasan
pengalaman anak tunanetra dikarenakan pengaruh pengalih fungsian organ-organ
yang masih normal lainnya. Seorang anak tuna netra lebih mengandalkan indra
peraba dan pendengaran untuk membantunya berinteraksi dengan lingkungan luar,
walaupun demikian hal tersebut tentu saja tidak bekerja secara maksimal
layaknya indra pengelihatan yang secara cepat dangan menyeluruh dalam
memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna dan hubungan ruang yang dapat
dengan mudah diperoleh dengan indra penglihatan.Sehingga hal
iniberpengaruh pada variasi dan jenis pengalaman anak yang membutuhkan
strategidan kemampuan anak dalam memahami informasi tersebut.
·
Kemampuan untuk berpindah tempat
Indera penglihatan
yang normal memungkinkan individu untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu
lingkungan, tapi keterbatasan penglihatan sangat mempengaruhi kemampuan
untukbergerak (mobilitas) dalam kehidupan sehari-hari. Keterbatasan tersebut
menghalangi mereka untuk memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh juga pada
hubungan sosial lingkungan sekitar mereka. Kemampuan untuk bergerakpada anak
tunanetra memerlukan pembelajaran yang mengakomodasi indera nonvisualdalam
bergerak secara mandiri, sehingga anak tunanetra harus belajar bagaimana
berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan kemampuan
orientasi dan mobilitas.
·
Interaksi dengan lingkungan
Jika seorang yang
normal berada pada suatu ruangan yang ramai, maka dengan cepat akan mengenali
keadaan ruangan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu.
Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang
lingkungan masih tidak utuh.
2.
Karakteristik Akademik
Dampak ketunanetraan tidak hanya pada terhadap
perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan
akademisnya, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika
seorang yang normal melakukan kegiatan membaca dan menulis mereka tidak perlu
memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal
tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman pengelihatan.
Kesulitan mereka dalam kegiatan membaca dan menulis biasanya sedikit mendapat
pertolongan dengan mempergunakan berbagai alternatif media atau alat
membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
3.
Karakteristik Sosial
dan Emosional
Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi
kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan
melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari
orang lain yang berkompeten . Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam
belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunaneta sering mempunyai
kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Oleh sebab itu siswa
tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam
bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah,
penampilan postur tubuh yang baik mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi
wajah dengan benar, mempergunakan tekanan dan alunan suara dengan baik,
mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan
komunikasi serta menggunakan alat bantu yang tepat.
4. Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Pribadi dan
Sosial
Beberapa
literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin terjadi pada anak tunanetra
yang tergolong buta sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
kebutaannya adalah:
a.
Curiga pada orang lain
Keterbatasan rangsangan visual/penglihatan,
menyebabkan anak tunanetra kurang mampu untuk berorientasi pada lingkungannya
sehingga kemampuan mobilitasnya pun terganggu. Tidak berfungsinya indera
penglihatan berpengaruh terhadap penerimaaninformasi visual saat berkomunikasi
dan berinteraksi. Seorang anak tunanetratidak memahami ekspresi wajah dari
teman bicaranya atau hanya dapat melaluisuara saja. Hal ini mempengaruhi saat
teman bicaranya berbicara dengan oranglainnya secara berbisik-bisik atau kurang
jelas, sehingga dapat mengakibatkanhilangnya rasa aman dan cepat curiga
terhadap orang lain. Anak tunanetra perludikenalkan dengan orang-orang di
sekitar lingkungannya terutama anggotakeluarga, tetangga, masyarakat sekitar
rumah, sekolah dan masyarakat sekitarsekolah.
b.
Perasaan mudah tersinggung
Perasaan mudah tersinggung juga
dipengaruhi oleh keterbatasan yang iaperoleh melalui auditori/ pendengaran.
Bercanda dan saling membicarakan agarsaat berinteraksi dapat membuat anak
tunanetra tersinggung. Perasaan mudahtersinggung juga perlu diatasi dengan
memperkenalkan anak tunanetra denganlingkungan sekitar. Hal ini untuk
memberikan pemahaman bahwa setiap orangmemiliki karakteristik dalam bersikap,
bertutur kata dan cara berteman. Haltersebut bila diajak bercanda, anak
tunanetra dapat mengikuti tanpa ada perasaan tersinggung bila saatnya ia yang
dibicarakan.
c.
Verbalisme
Pengalaman dan pengetahuan anak
tunanetra pada konsep abstrakmengalami keterbatasan. Hal ini dikarenakan konsep
yang bersifat abstrak sepertifatamorgana, pelangi dan lain sebagainya terdapat
bagian-bagian yang tidak dapatdibuat media konkret yang dapat menjelaskan
secara detail tentang konseptersebut, sehingga hanya dapat dijelaskan melalui
verbal. Anak tunanetra yangmengalami keterbatasan dalam pengalaman dan
pengetahuan konsep abstrak akanmemiliki verbalisme, sehingga pemahaman anak
tunanetra hanya berdasarkankata-kata saja (secara verbal) pada konsep abstrak
yang sulit dibuat media konkretyang dapat menyerupai.
d.
Perasaan rendah diri
Keterbatasan yang dimiliki anak
tunanetra berimplikasi pada konsepdirinya. Implikasi keterbatasan penglihatan
yaitu perasaan rendah diri untukbergaul dan berkompetisi dengan orang lain. Hal
ini disebabkan bahwapenglihatan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
memperoleh informasi.Perasaan rendah diri dalam bergaul terutama dengan anak
awas. Perasaan tersebutakan sangat dirasakan apabila teman sepermainannya
menolak untuk bermain bersama.
e.
Adatan atau perilaku stereotip
Adatan merupakan upaya rangsang bagi
anak tunanetra melalui indera nonvisual. Bentuk adatan tersebut misalnya
gerakan mengayunkan badan ke depan kebelakang silih berganti, menekan matanya,menggerakkan
kaki saat duduk, menggelenggelengkankepala, dan lain sebagainya. Adatan
dilakukan oleh anak tunanetra sebagai pengganti apabila dalam suatu kondisi
anak yang tidak memiliki rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak
dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial baginya, sedangkan bagi
anak awas dapat dilakukan melalui indra
penglihatan dalam mencari informasi di lingkungan sekitar. Biasanya para ahli
mencoba mengurangi dan menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka
memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu,
misalnya pemberian pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang positif dan
sebagainya.
f.
Suka berfantasi
Implikasi
dari keterbatasan penglihatan pada anak tunanetra yaitu suka berfantasi. Hal ini bila dibandingkan dengan
anak awas dapat melakukan kegiatan memandang, sekedar melihat-lihat dan mencari
informasi saat santai atau saat-saat tertentu. Kegiatan tersebut tidak dapat
dilakukan oleh anak tunanetra, sehingga anak tunanetra hanya dapat berfantasi
saja.
g.
Berpikir kritis
Keterbatasan informasi visual dapat
memotivasi anak tunanetra dalamberpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Hal
ini bila dibandingkan anak awasdalam mengatasi permasalahan memiliki banyak
informasi dari luar yang dapat mempengaruhi terutama melalui informasi visual.
Anak tunanetra akan memecahkan permasalahan secara fokus dan kritis berdasarkan
informasi yang iaperoleh sebelumnya serta terhindar dari pengaruh visual
(penglihatan) yang dapat dialami oleh orang awas.
h.
Pemberani
Pada anak tunanetra yang telah memiliki
konsep diri yang baik, maka iamemiliki sikap berani dalam meningkatkan
pengetahuan, kemampuan,keterampilan, dan pengalamannya. Sikap pemberani
tersebut merupakan konsep diri yang harus dilatih sejak dini agar dapat mandiri
dan menerima keadaan dirinya serta mau berusaha dalam mencapai cita-cita.Sari
Rudiyati (2002: 34-38)
i.
Ketergantungan yang berlebihan
Anak tunanetra dalam melakukan suatu hal
yang bersifat barumembutuhkan bantuan dan arahan agar dapat melakukannya. Hal
ini dilakukan olehanak tunanetra dikarenakan adanya asumsi bahwa dengan bantuan
orang awas terutama mobilitas mereka merasa lebih aman, sehingga akan menjadikan
anak tunanetra memiliki ketergantungan secara berlebihan kepada orang awas
terutama pada hal-hal yang anak tunanetra dapat melakukan secara mandiri.Namun
bantuan dan arahan tersebut tidak dapat dilakukan secara terus menerus, karena
ditakutkan apabila
hal ini terjadi maka siswa akan cenderung berlaku pasif.
Karakteristik
anak tunanetra yang berupa potensi meliputi sikap pemberani, berpikir kritis,
dan suka berfantasi. Sikap tersebut dapat dimanfaatkan dalamproses pembelajaran
aktif seperti pada konsep penjumlahan sehingga dapat meminimalisir karakteristik
yang berupakekurangan anak tunanetra. Karakteristik yang berupa kekurangan anak
tunanetra meliputi sikapmudah curiga, mudah tersinggung, rendah diri,
verbalisme, adatan danketergantungan yang berlebihan. Sikap tersebut dipandang
akan mempengaruhi sosialisasi dan adaptasi di lingkungan anak tunanetra (rumah,
sekolah danmasyarakat). Hal ini menunjukkan bahwa anak tunanetra membutuhkan
prosespembelajaran, sosialisasi dan adaptasi dalam mengenal dan memahami
kondisiserta situasi lingkungan agar dapat mengurangi kekurangannya.
5. Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek
Fisik/sensoris dan Motorik/perilaku
a. Aspek fisik
dan sensoris
Dilihat
secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami tunanetra.
Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang
ajeg serta agak kaku. Pada umumnya kondisi mata tunanetra dapat dengan jelas
dibedakan dengan mata orang awas. Mata orang tunanetra ada yang terlihat putih
semua, tidak ada bola matanya atau bola matanya agak menonjol keluar. Namun ada
juga yang secara anatomis matanya, seperti orang awas sehingga kadang-kadang
kita ragu kalau dia itu seorang tunanetra, tetapi kalau ia sudah bergerak atau
berjalan akan tampak bahwa ia tunanetra.
Dalam segi
indra, umumnya anak tunanetra menunjukkan kepekaan yang lebih baik ada indra
pendengaran dan perabaan dibanding anak awas. Namun kepekaan tersebut tidak
diperolehnya secara otomatis, melainkan melalui proses latihan.
b.
Aspek Motorik/Perilaku
Ditinjau
dari aspek motorik/perilaku anak tunanetra menunjukkan karakteristik sebagai
berikut:
·
Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel
Oleh karena keterbatasan
penglihatannya anak tunanetra tidak bebas bergerak, seperti halnya anak awas.
Dalam melakukan aktivitas motorik, seperti jalan, berlari atau melompat,
cenderung menampakkan gerakan yang kaku dan kurang fleksibel.
·
Perilaku stereotipee (stereotypic behavior)
Sebagian anak tunanetra ada yang
suka mengulang-ngulang gerakan tertentu, seperti mengedip-ngedipkan atau
menggosok-gosok matanya. Perilaku seperti itu disebut perilaku stereotipee
(stereotypic behavior). Perilaku stereotipe lainnya adalah menepuk-nepuk
tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar